Image source: http://www.alcanpackaging.com/wp-content/uploads/2016/09/Rumah-Sehat.jpg
Bu, sehat-sehatkah Ibu pada rumah?
Masihkah sayur lodeh Ibu seenak dulu? Tetap samakah rasa gurih kacang dalam sambal pecelmu?
Sekian lama merantau, masakan restoran ternama pun belum dapat menyaingi kehangatan olahan tanganmu.
Ah Bu, aku rindu
Tunggu aku pulang ya, Bu. Semoga Ibu sehat-sehat selalu.
Di Perantauan Aku Bukan Lagi Anak Manja Ibu yg Dulu. Di Sini, Aku Harus Berjuang Demi Meningkatkan Taraf Hidupku
Hidup memang tidak seringan dikala aku masih pada rumah dulu, Bu. Ketika tanganmu masih dapat kucium menjadi tanda hormat setiap pagi, atau waktu aku dapat memakai enteng ke dapur lalu memintamu memasakkan hidangan yg kusukai.
Tapi tidak muncul yg kusesali berdasarkan keputusanku ini. Bertekad merantau jadi salah satu keputusan terbaik yg pernah kuambil sejauh ini.
Di sini aku belajar jadi pejuang. Jadi orang yg harus mau pasang badan begadang sampai malam demi mewujudkan keinginan. Di tanah yg baru ini kedewasaanku digembleng sedemikian rupa. Aku dipaksa jadi lebih bertenaga menjadi insan.
Keyakinan bahwa pada sini aku berkembang jadi cambuk setiap rasa menyerah dan ingin pulang tiba. Aku harus jadi anak yg membanggakan. Aku tidak dididik Ibu buat gampang menyerah setiap kali kesusahan menabuh genderang. Aku ingin pulang hanya dikala sudah muncul pencapaian yg dapat dikenang.
Mati-matian Kucoba Menciptakan Kenyamanan Seperti pada Rumah. Tapi Kehangatan yg Ibu Tawarkan Ternyata Tak Semudah Itu Dibawa Pindah
Dari dulu Ibu selalu berpesan. Aku harus jadi anak tangguh yg dapat bertahan pada mana saja. Sampai sekarang nasihatmu ini masih ternging pada pendengaran. Kata Ibu zona nyaman selalu dapat diperluas, selama aku lugas dan tegas aku dapat tumbuh jadi pelintas batas.
Ingat Nak, rumah adalah perasaan. Bukan hanya bangunan tetap yg tidak dapat dipindahkan.
Kata-kata Ibu ini kuamini sepenuh hati. Terbukti aku pernah merasa pulang, waktu mampir pada pelukan pasangan selesainya hari yg panjang. Perasaan seperti pada rumah pula sempat aku rasakan, dikala memandang kerlip lampu kota berdasarkan atas trek pendakian. Selama aku yakin rumah muncul pada dalam hati beliau tidak akan hilang kemanapun kaki membawa pergi.
Di kawasan baru ini, perlahan kuciptakan lagi rasa pada rumah yg selalu ingin kudapati. Kuminta Ibu mengirimiku kain sprei lawas yg sudah bertahun-tahun terpasang pada kamar. Boneka dan kitab-kitab lawas pula Ibu kirimkan demi mengisi rak hiasan yg masih melompong pada kamar. Musik grup band favorit yg selama ini memenuhi pendengaran pula kembali kau dendangkan sepanjang bepergian.
Seharusnya, ini membuatku selalu merasa pulang kan? Tapi kali ini ekuasiku tidak berjalan sesuai cita-cita. Tetap muncul ruang kosong yg berlubang walau sudah diganjal tambalan.
Satu yg Paling Terasa. Setiap Kali Rasa Lapar Melanda, Kehangatan Rumah dan Masakan Ibulah yg Selalu Terputar pada Kepala
Saat masih pada rumah dulu urusan perut tidak pernah membuatku pusing seperti ini. Di rumah, paling mentok aku hanya harus melipir ke dapur buat buka lemari lalu mencomot apapun yg masih tersisa berdasarkan santapan siang tersebut. Tapi beda ceritanya pada sini, Bu.
Boro-boro mau comot sana-sini. Aku harus berpikir berulang kali sebelum menetapkan mau makan apa malam ini. Saat sudah memantapkan hati dan berkiprah pergi, eeeeh tidak jarang warung langganan justru kehabisan menu andalan. Tak jarang aku harus puas memakai makanan apapun yg dapat ditemukan.
Terkadang, pada dikala-dikala miris karena lapar dan gundah harus makan apa macam ini pikiranku terlempar ke dapur rumah yg selalu terisi. Tumis tempe sederhana sintesis Ibu, gorengan bakwan yg tersisa berdasarkan menu makan siang tersebut yg selalu dapat jadi penyelamatku. Betapa dulu aku menduga remeh kemewahan yg ditawarkan masakan rumah yg selalu dihidangkan Ibu.
Bika saja kekuatan magic ala Harry Potter itu muncul, ingin cita rasanya aku mengucap mantra,
Accio Ibu dan masakan enaknya! ke udara.
Pasta ala cafe, masakan rumahan yg dijual pada warung langganan, sampai fancy dinner memakai steak wagyu tidak muncul yg dapat menyaingi masakan rumah Ibu.
Ah, andai kata harga tiket pulang dan kesibukan kerja dapat diakali, aku tidak keberatanharus jadi komuter tiap hari demi dapat menikmati masakan rumah Ibu.
Kalau Boleh Jujur, Aku Cuma Rindu Bu. Pada Rumah, Pada Ibu, dan Pada Hangatnya Masakanmu yg Selalu Nomor Satu
Sekian lama pada perantauan membuatku sadar. Tugas Ibu pada rumah memang jauh berdasarkan kata gampang. Setiap pagi Ibu harus memastikan Ayah, aku, dan saudara termuda-saudara termuda bangun dan berangkat tepat waktu. Tak cuma itu, Ibu masih pula perlu mendelegasikan tugas harian ke Asisten Rumah Tangga kita yg masih baru.
Sementara kami merasa jadi orang paling sibuk pada luar rumah, dalam membisu Ibu berbenah pada rumah demi menyiapkan hidangan terbaik buat menyambut kami yg pulang memakai lelah. Aku yg dulu belum memahami susahnya jadi orang dewasa tidak jarang menjawab Ibu memakai santainya,
Yah Bumaaf udah makan pada luar tersebut sama sahabat.
Nanti ah Bu makannya. Aku belum lapar.
Seandainya muncul pada posisimu dapat jadi aku sudah kehabisan kesabaran berdasarkan jauh-jauh hari. Bahkan dapat mogok masak karena merasa kerja kerasku tidak dihargai. Tapi Ibu selalu berbesar hati. Ibu hanya akan meletakkan kembali semua alat-alat makan yg sudah tersusun rapi, menghangatkan ulang makanan yg sudah Ibu agar masih dapat dimakan esok hari.
Kesabaran dan pengorbanan Ibu pada manapun memang tidak muncul duanya. Seperti Ibu yg rela pergi ke Kutub Utara demi memasakkan makanan rumah kesukaan anaknya, aku yakin Ibu pun rela melakukan apapun agar buah hati dan famili tercukupi seluruh kebutuhannya.
Sementara Itu, Cium Sayang Dulu Dariku. Sehat-sehat ya Bu. Anakmu Ini Janji Akan Bekerja Lebih Keras Demi Sering Mengunjungimu
Ibu tidak perlu harus ke Kutub Utara seperti Ibu pada video Royco yg mengharukan ini. Kali ini giliranku yg akan tiba. Aku berjanji akan bekerja lebih keras berdasarkan sekarang. Agar setidaknya setiap bulan dapat pulang. Tentu buat merasakan masakan rumah Ibu yg tidak muncul duanya itu akan namun pada balik itu aku pula ingin membayar waktu.
Aku berjanji akan lebih poly pada rumah, makan masakan rumah yg Ibu olah, daripada keluyuran ke cafe-cafe baru. Sebab pada sini aku baru sadar bahwa masakan Ibu jauh lebih berharga berdasarkan sekadar formasi sayur dan bumbu-bumbu. Ada cinta dan kesabaran yg Ibu tuangkan pada situ.
Maaf ya Bu, anakmu ini jarang pertanda penghargaannya dikala kita masih beserta dulu. Barangkali memang jarak dan kedewasaan yg diperlukan sebelum kini aku memahami betapa akbar pengorbananmu. Berjanji padaku ya Bu, Ibu harus sehat-sehat selalu agar dapat terus memasak masakan rumah yg lezat itu untukku.
Tunggu aku pada rumah Bu, aku berjanji akan lebih tidak jarang pulang demi merasakan masakan rumah buatanmu.
Apakah kau pula sedang didera rindu pada Ibu dan masakan rumah yg tidak muncul duanya itu? Ingin segera dapat mengetuk pintu demi merampungkan rasa rindu?
Bika alasan tanggung jawab dan kesibukan masih menunda kepulanganmu, website Cita Rasa Masakan Rumah Royco ini dapat sedikit mengobati lubang pada hatimu. Di sana kau dapat menemukan resep masakan rumahan yg gampang dibuat, agar kehangatan rumah terasa kembali dekat.
Sampai kapan pun masakan rumah olahan Ibu memang tidak akan terganti. Tapi pada perantauan macam ini, terkadang rumah memang harus diciptakan sendiri.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Sehat-sehat Selalu ya, Bu. Aku Masih Ingin Membawa Ibu Traveling ke Banyak Tanah Baru
Kepada Rumah yg Selalu Ada pada Kepalaku. Tunggu, Aku Sedang Menabung Rindu
Sakit Bukanlah Halangan buat Patah Semangat. Tengok berdasarkan Sisi Positifnya, ayo!
Apapun Masalah Kita, Obati memakai Belly Aerobic
Untuk yg pada Perantauan dan Rindu Rumah
No comments:
Post a Comment