
Image source: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjxwNYHli2M7XsumwKIMCOpSX8x7bwfiDDRVO-aoYhcF5L63FHR0EIljkwH46KjYCjzmvq8iLnS9p6XVpNTxi0j7-tE5TXAEe4wyoV_1JTzP0QQ45L_kutu8gByn89wk9Uy53-wFYOSuDis/s1600/unnamed6.jpg
Yups, seharusnya mereka itu sudah piawai & banyak tahu wacana segala jenis masakan, lantaran beda beserta program chef-chefan yang lain, dalam Top Chef ini pesertanya adalah para chef profesional yang sudah bekerja dalam banyak sekali restoran & hotel ternama. Namun, nyatanya mereka ini bahkan tidak mengenal & baru tahu bahan-bahan tradisional macam kluwek, kenikir & kecombrang.
Terus terang kami dalam sekolah memang tidak diajari bahan-bahan itu, semua masakan asing, kata salah seorang peserta.
Wah, gitu ya? Jangan-jangan lantaran para chef itu memang dipersiapkan buat bekerja dalam hotel atau restoran bertaraf internasional, maka sekolah khusus chef pun mengabaikan masakan orisinil Indonesia. Pantas saja tiap kali beruntung makan dalam hotel atau restoran mengagumkan (lantaran diajak & ditraktir), saya tak pernah mampu menikmati makanan-makanan aneh nan mahal itu. Mungkin lidah saya terbiasa beserta makanan warung atau rumahan orisinil Indonesia. Seperti nasi rawon ala mak saya yang saya tahu absolut menggunakan kluwek. Atau maupun pecel kecombrang ala bapak saya yang begitu menggoda.
Di mana pujian kalian sebagai chef orisinil Indonesia?! cetus chef Vindex, salah satu juri beserta nada geram.
Saya sepuluh tahun dalam Indonesia saja paham beserta masakan Indonesia, kalian orang Indonesia tidak tahu masakan Indonesia? sindir juri chef Chris Salans, yang orisinil bule.
Aduh disindir bule nih, makjleb you know!
Makin aneh saja waktu muncul satu segmen fakta ketika orang-orang orisinil Indonesia ini malah dipandu orang asing lainnya, Chef Will Meirick, ketika berkunjung ke sebuah pasar tradisional. Wah, bule itu nunjukin bahan-bahan tradisional kita seperti pare atau bahkan daun bawang. Dia mengungkapkan bagaimana mengolah bahan-bahan itu beserta baik.
Saya kemudian merenung, apakah ini pengaruh pergeseran selera sebagian masyarakat kita yang seolah sudah terkini? Terutama mereka yang sibuknya luar biasa, tentu sporadis mengolah sendiri dalam rumah. Dan lantaran dompetnya tak pernah tipis, mereka lebih suka jajan dalam kawasan-kawasan elit yang menjajakan makanan-makanan asing. Anak-anak pun lebih berselera beserta fast food yang begitu gencar diiklankan dalam televisi yang mencitrakan label keren. Alhasil warisan kuliner orisinil Indonesia masih terkungkung dalam label masakan kampung.
Acara Top Chef Indonesia ini memang sebuah reality show yang penuh drama. Namun, beserta menyandang istilah Indonesia, saya berharap program ini sungguh mampu menyadarkan kembali kecintaan terhadap masakan orisinil Indonesia.
Hmm, & datang-datang saya merasa keren sudah berhasil mengolah tahu campur buat menu makan malam saya kali ini. Ada yang mau? Mungkin Farah Quinn mau...
No comments:
Post a Comment